Belajar ke Rifka Annisa

Oleh : Annisa Reginasari

Pada hari kamis, 8 Mei 2013 lalu, Alhamdulillah PSC berkesempatan untuk berkunjung ke Rifka Annisa dalam usulan program kerja divisi aplikasi, sub divisi PIO dan Sosial. Kita sangat antusias! soalnya jalan-jalan juga hehehe… RA (baca: Rifka Annisa) berlokasi di Jl. Jambon IV Komplek Jatimulyo Indah Yogyakarta.

Kedatangan PSC disambut baik oleh pengurus pengurus Rifka Annisa. Kita difasilitasi dengan sangat baik dari tuan rumah dalam pertemuan diskusi. Diskusi berjalan lancar dan secara khusus bagi saya, narasumber telah cukup padat memberikan banyak informasi yang bermanfaat.

Saya, pribadi sebagai salah seorang yang mengikuti acara, penasaran sebenarnya apa saja kegiatan Rifka Annisa sebagai women crisis centre ini.

Rifka Annisa adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang psiko-sosial dalam pendampingan konseling (serta hukum) psikologi dan memberikan psikoedukasi (kampanye) terkait isu-isu kekerasan pada perempuan dan anak.  Rifka Annisa yang berarti “Teman Perempuan” adalah sebuah organisasi non pemerintah yang didirikan pada tanggal 26 Agustus 1993. Sebelumnya RA dikenal sebagai pusat krisis untuk perempuan. Sejak tanggal 20 Mei 2005 Rifka Annisa menjadi perkumpulan. Lembaga ini  melakukan banyak kegiatan-kegiatan sosialisasi anti kekerasan.

Menurut Narasumber, Rifka Annisa muncul akibat dari banyaknya kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak-anak dalam keluarga. Budaya patriaki yang tumbuh di Indonesia ternyata berpotensi memgembangkan kecenderungan perilaku kekerasan yang memang kebanyakan dilakukan oleh laki-laki. Budaya patriaki membuat sebuah stereotype dan pelabelan bahwa laki-laki cenderung punya kekuatan (power) yang lebih besar daripada perempuan. Pelabelan ini sering kita sebut  stereotype peran gender (role gender). Akibat dari adanya kesenjangan kekuasaan dan kekuatan inilah sering terjadi konflik yang berujung pada perilaku kekerasan oleh pelaku. Potensi untuk mendapatkan kekerasan juga dapat terjadi hampir di sepanjang rentang kehidupan individu. Bahkan dari dalam kandungan seorang anak berpotensi mendapat kekerasan, misalnya tidak diberi nutrisi yang baik oleh ibu dan yang paling ekstrim, digugurkan.

Jujur, awalnya saya sudah punya asumsi di benak saya. Beberapa pertanyaan muncul.. Mengapa wanita yang menjadi fokus perhatian? apakah tidak ada yang menjadi korban itu justru adalah laki-laki? Namun ternyata pertanyaan yang sama (hampir sama) juga diutarakan oleh teman-teman lain (colek: wahyu, epri ahahha). Dan, narasumber menjelaskan bahwa ternyata pada kenyataannya pelaku kekerasan bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan.. Nah!

RA3

RA4

RA5

RA6

WIL (wanita idaman lain) ternyata bisa dikategorikan ‘pelaku kekerasan’ lho! Dengan catatan, bahwa si wanita ini sadar dan tahu bahwa ia berada di  jalan yang “salah”. Hmmm…. agak sensitif sebenarnya, namun saya yakin bahwa inilah yang perlu kita tahu bahwa mungkin di dunia kerja, ada banyak hal yang kontroversial 🙂 That was my opinion!

Ya, beberapa anggota PSC aktif dalam menanggapi materi yang diberikan narasumber (Nova, Ratna, Noni, Wahyu, Epri). Kita mendapat jawaban yang memuaskan Alhamdulillah 🙂 Narasumber juga sesekali bertanya pada kami tentang beberapa hal (misalnya tentang apa bedanya konseling dan bimbingan, apa contohnya kekerasan dalam masa kandungan) Thanks Mbak India 🙂

Menyambung pembahasan di atas tentang RA, saya sempat menulis beberapa catatan kecil (bagi PSC-ers lain yang sempat mencatat dan ingin menambahkan posting ini, silahkan yaa) sewaktu mengikuti pertemuan. Hal yang membuat saya tertarik adalah pelibatan konselor laki-laki dan adanya Men’s Programme dalam kampanye anti kekerasan yang diusung oleh RA. Itu sangat unik menurut saya. Kenapa? Sebab, apa sebenarnya pengaruh laki-laki terhadap gerakan anti kekerasan bagi perempuan ini? Bukankah laki-laki disinyalir adalah “pelaku” kebanyakan dari kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga misalnya.. Bukankah budaya Patriaki tadi memicu kekerasan yang notebene itu tentang laki-laki? poinnya adalah mengapa laki-laki perlu terlibat?

Pertanyaan itu terjawab ketika Narasumber menjelaskan bahwa pelibatan laki-laki dalam program RA dalam gerakan anti kekerasan bertujuan menggambarkan atau mengkonstruksikan kembali agar laki-laki tidak terbawa pada stereotype budaya patriaki, yang berujung pada terwujudnya Keadilan jender. Keadilan jender yang dimaksud disini adalah bagaimana sebuah hubungan dengan pasangan (yang berbeda jendernya) bisa saling sejajar dalam menghargai, memenuhi hak dan kewajiban, mengasihi, menghormati dan memberikan perhatian. Sehingga kesenjangan-kesenjangan dalam peran jender yang memicu konflik bahkan kekerasan dapat diperkecik peluang kemunculannya. Konsep ini perlu dipahami oleh laki-laki. Dalam melakukan konseling pun, berbeda perlakuannya antara pendekatan konseling oleh konselor laki-laki untuk klien laki-laki sebagai (biasanya) pelaku kekerasan, dengan konselor perempuan pada korban kekerasan (biasanya perempuan).

RA 1

RA2

Macam-macam kekerasan ternyata ada banyak. Selama ini mungkin yang kita (saya) tahu cuma kekerasan fisik dan mental. Narasumber menyampaikan bahwa bukan hanya itu, ada juga kekerasan ,seksual, ekonomi (tdk dinafkahi), sosial (dijelek2kan secara sosial).

Ada beberapa divisi di RA, salah satunya adalah Divisi Pendampingan. Divisi ini bisa dikatakan ikon nya RA, ujung tombaknya RA. Sebab tugas dari divisi ini adalah melindungi, mendampingi perempuan dan anak-anak dari kekerasan. Pendampingan dapat berupa pendampingan hukum dan psikologi. Pendampingan hukum terdiri atas  pendampingan hukum pidana dan perdata. Pidana contohnya, aduan kekerasan fisik, perkosaan, dan sebagainya. Sedangkan contoh pendampingan hukum perdata  misalnya, terkait perceraian dan warisan. RA bukan lembaga Advokasi sehingga tidak menyediakan pengacara, namun memberikan pendampingan dan dorongan serta memberikan informasi yang lugas pada klien secara tdk langsung terhadap hak-hak klien yang perlu klien sadari terkait dengan hukum dan perundangan yang berlaku di Indonesia. Pendampingan psikologi dilakukan dengan konseling dan  memantau pemulihan dg mencoba melihat kembali keadaan klien. Menurut narasumber, seorang pendamping hukum, harus paham juga tentang psikologi, begitu juga sebaliknya. Hal ini bertujuan untuk dapat melayani klien dengan sebaik mungkin saat datang dengan pengaduannya.

“Level psikologis” dalam memetakan keadaan psikologis klien
Dilakukan Intervensi krisis untuk korban agar dia berdaya, dimanapun dia mendapat kekerasan dia tau berbuat apa yg diwujudkan dalam indikator level berdayaan, jd tujuan konseling awalnya adalah meningkatkan level ini, namun harus dipahami dinamika psikologis klien sebelum konselor mampu memahami klien sehingga dapat membantu klien untuk dapat memilih dan mengambil keputusan yang terbaik bagi klien dalam permasalahannya.

Narasumber mengatakan bahwa pentingnya Building Rapport dalam konseling, agar klien memiliki motivasi dalam menceritakan keluhannya secara luwes. Beliau juga menambahkan bahwa peran konselor adalah sebagai fasilitator yang bertuugas memancing cerita, membuat klien dapat melihat sudut pandang lain sehingga pada akhirnya solusi itu muncul dari dirinya sendiri. Prinsip ini dapat disebut juga pemberdayaan dan egaliter.

RA tidak menyediakan jasa terapi, hanya konseling saja.

 RA7

RA8

RA9

RA11

Konseling beda dengan curhat, konseling punya arah, tujuan dan pola pikir jangka panjang
by Mbak India

Sewaktu mbak India baru mengisi acara, kalau tidak salah, saya dengar Beliau (kira-kira) bilang begini

Rasanya kurang cukup kalau ilmu itu cuma kita dapatkan di kelas saja, saya senang ternyata ada Club Psikologi di FPSB seperti ini, melihat ke lapangan..

Wah! mudah-mudahan yaa.. PSC ke depannya bisa lebih baik lagi… Amiin

ini ada link situs resminya Rifka Annisa 🙂 >>>>>> http://www.rifka-annisa.or.id

Leave a comment